Proses kelahiran normal pada sapi adalah tahap akhir dari kebuntingan yang berlangsung secara alami tanpa intervensi berlebih. Proses ini terbagi dalam tiga fase:
Fase pertama: dimulai dengan kontraksi uterus dan pembukaan serviks.
Fase kedua: ditandai oleh keluarnya anak sapi melalui saluran kelahiran.
Fase ketiga: pengeluaran plasenta dalam waktu 12 jam setelah melahirkan.
Faktor Penting dalam Kelahiran Normal:
Lingkungan yang bersih, pakan bergizi, dan pemantauan ketat selama periode peripartum sangat penting untuk mendukung kelahiran normal. Kelahiran normal mengurangi risiko komplikasi bagi induk maupun anak sapi, seperti retensi plasenta atau anak sapi lemah.
Dampak Kelahiran Normal:
Kelahiran yang lancar menjaga kesehatan induk sapi, mempercepat pemulihan, dan mendukung produksi susu optimal. Anak sapi yang lahir sehat memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh menjadi ternak produktif, sehingga mendukung keberlanjutan peternakan.
Relevansi dengan SDGs:
SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Proses kelahiran normal mendukung produktivitas sapi dan penyediaan sumber pangan berkualitas.
SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan): Kesehatan induk dan anak sapi melalui kelahiran normal meningkatkan kesejahteraan hewan.
SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab): Manajemen kelahiran yang baik mengurangi kerugian dan limbah sumber daya di peternakan.
Dengan memahami proses kelahiran normal dan memberikan perawatan yang tepat, peternak dapat meningkatkan efisiensi produksi, menjaga kesehatan ternak, dan berkontribusi pada keberlanjutan sektor peternakan sesuai tujuan SDGs.
https://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2024/12/Proses-Kelahiran-Normal.png7201280kpmi.fkhhttp://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.pngkpmi.fkh2024-12-12 12:49:132024-12-12 12:49:13Mengenal Proses Kelahiran Normal pada Sapi
Hipofungsi ovarium adalah gangguan reproduksi pada sapi yang ditandai dengan rendahnya aktivitas ovarium, menyebabkan sapi sulit mengalami ovulasi. Kondisi ini berdampak pada penurunan tingkat kesuburan, memperpanjang interval kelahiran, dan merugikan produktivitas peternakan.
Penyebab dan Dampak:
Hipofungsi ovarium dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti kekurangan nutrisi, stres, gangguan hormonal, atau penyakit. Dampaknya mencakup berkurangnya efisiensi reproduksi, biaya inseminasi buatan yang meningkat, serta penurunan hasil produksi susu atau daging.
Pencegahan dan Penanganan:
Pencegahan melibatkan pemberian pakan yang berkualitas, manajemen stres yang baik, serta pemantauan kesehatan sapi secara rutin. Penanganan hipofungsi ovarium dapat dilakukan melalui terapi hormonal untuk merangsang ovulasi, disertai perbaikan manajemen nutrisi dan lingkungan.
Relevansi dengan SDGs:
SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Meningkatkan efisiensi reproduksi sapi mendukung produksi pangan yang berkelanjutan.
SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan): Menjaga kesehatan sapi melalui manajemen yang baik meningkatkan kesejahteraan hewan.
SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab): Pengelolaan hipofungsi ovarium membantu mengurangi pemborosan sumber daya di sektor peternakan.
Dengan memahami dan menangani hipofungsi ovarium, peternak dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta berkontribusi pada keberlanjutan sektor peternakan sesuai dengan tujuan SDGs.
https://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2024/12/hipofungsi-ovarium.png7201280kpmi.fkhhttp://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.pngkpmi.fkh2024-12-12 12:37:492024-12-12 12:37:49Mengenal Hipofungsi Ovarium pada Sapi
Retensi plasenta adalah kondisi pada sapi di mana plasenta tidak keluar dalam waktu 12–24 jam setelah melahirkan. Masalah ini sering terjadi di peternakan sapi perah maupun sapi potong, terutama pada sapi yang mengalami gangguan metabolik atau infeksi. Retensi plasenta dapat memengaruhi kesehatan sapi, menurunkan produktivitas, dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak.
Penyebab dan Dampak: Kondisi ini disebabkan oleh faktor seperti infeksi bakteri, defisiensi nutrisi (misalnya vitamin E atau selenium), dan manajemen kelahiran yang kurang baik. Dampaknya meliputi risiko infeksi uterus (metritis), gangguan reproduksi, dan penurunan produksi susu. Jika tidak ditangani, retensi plasenta dapat mengancam kesejahteraan sapi dan meningkatkan biaya perawatan.
Pencegahan dan Penanganan: Pencegahan retensi plasenta dilakukan melalui pemberian nutrisi yang cukup, manajemen kelahiran yang higienis, dan pemantauan sapi selama masa peripartum. Penanganan melibatkan pengobatan antibiotik untuk mencegah infeksi, serta, bila perlu, pengangkatan plasenta secara manual oleh tenaga ahli.
Relevansi dengan SDGs:
SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Penanganan retensi plasenta membantu menjaga produktivitas sapi, sehingga mendukung ketahanan pangan.
SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan): Memastikan kesehatan hewan ternak meningkatkan kesejahteraan hewan dan keberlanjutan produksi.
SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab): Pencegahan retensi plasenta mengurangi limbah sumber daya di peternakan.
Dengan memahami dan mengelola retensi plasenta secara tepat, peternak dapat meningkatkan efisiensi produksi sekaligus mendukung pencapaian SDGs untuk keberlanjutan sektor peternakan.
https://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2024/12/retensi-plasenta.png7201280kpmi.fkhhttp://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.pngkpmi.fkh2024-12-12 11:25:342024-12-12 11:25:34Mengenal Retensi Plasenta pada Sapi
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website.
--
[ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju
Mengenal Proses Kelahiran Normal pada Sapi
/in Knowledge Translation/by kpmi.fkhProses kelahiran normal pada sapi adalah tahap akhir dari kebuntingan yang berlangsung secara alami tanpa intervensi berlebih. Proses ini terbagi dalam tiga fase:
Fase pertama: dimulai dengan kontraksi uterus dan pembukaan serviks.
Fase kedua: ditandai oleh keluarnya anak sapi melalui saluran kelahiran.
Fase ketiga: pengeluaran plasenta dalam waktu 12 jam setelah melahirkan.
Faktor Penting dalam Kelahiran Normal:
Lingkungan yang bersih, pakan bergizi, dan pemantauan ketat selama periode peripartum sangat penting untuk mendukung kelahiran normal. Kelahiran normal mengurangi risiko komplikasi bagi induk maupun anak sapi, seperti retensi plasenta atau anak sapi lemah.
Dampak Kelahiran Normal:
Kelahiran yang lancar menjaga kesehatan induk sapi, mempercepat pemulihan, dan mendukung produksi susu optimal. Anak sapi yang lahir sehat memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh menjadi ternak produktif, sehingga mendukung keberlanjutan peternakan.
Relevansi dengan SDGs:
SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Proses kelahiran normal mendukung produktivitas sapi dan penyediaan sumber pangan berkualitas.
SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan): Kesehatan induk dan anak sapi melalui kelahiran normal meningkatkan kesejahteraan hewan.
SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab): Manajemen kelahiran yang baik mengurangi kerugian dan limbah sumber daya di peternakan.
Dengan memahami proses kelahiran normal dan memberikan perawatan yang tepat, peternak dapat meningkatkan efisiensi produksi, menjaga kesehatan ternak, dan berkontribusi pada keberlanjutan sektor peternakan sesuai tujuan SDGs.
Mengenal Hipofungsi Ovarium pada Sapi
/in Knowledge Translation/by kpmi.fkhHipofungsi ovarium adalah gangguan reproduksi pada sapi yang ditandai dengan rendahnya aktivitas ovarium, menyebabkan sapi sulit mengalami ovulasi. Kondisi ini berdampak pada penurunan tingkat kesuburan, memperpanjang interval kelahiran, dan merugikan produktivitas peternakan.
Penyebab dan Dampak:
Hipofungsi ovarium dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti kekurangan nutrisi, stres, gangguan hormonal, atau penyakit. Dampaknya mencakup berkurangnya efisiensi reproduksi, biaya inseminasi buatan yang meningkat, serta penurunan hasil produksi susu atau daging.
Pencegahan dan Penanganan:
Pencegahan melibatkan pemberian pakan yang berkualitas, manajemen stres yang baik, serta pemantauan kesehatan sapi secara rutin. Penanganan hipofungsi ovarium dapat dilakukan melalui terapi hormonal untuk merangsang ovulasi, disertai perbaikan manajemen nutrisi dan lingkungan.
Relevansi dengan SDGs:
SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan): Meningkatkan efisiensi reproduksi sapi mendukung produksi pangan yang berkelanjutan.
SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan): Menjaga kesehatan sapi melalui manajemen yang baik meningkatkan kesejahteraan hewan.
SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab): Pengelolaan hipofungsi ovarium membantu mengurangi pemborosan sumber daya di sektor peternakan.
Dengan memahami dan menangani hipofungsi ovarium, peternak dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, serta berkontribusi pada keberlanjutan sektor peternakan sesuai dengan tujuan SDGs.
Mengenal Retensi Plasenta pada Sapi
/in Knowledge Translation/by kpmi.fkhRetensi plasenta adalah kondisi pada sapi di mana plasenta tidak keluar dalam waktu 12–24 jam setelah melahirkan. Masalah ini sering terjadi di peternakan sapi perah maupun sapi potong, terutama pada sapi yang mengalami gangguan metabolik atau infeksi. Retensi plasenta dapat memengaruhi kesehatan sapi, menurunkan produktivitas, dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak.
Penyebab dan Dampak:
Kondisi ini disebabkan oleh faktor seperti infeksi bakteri, defisiensi nutrisi (misalnya vitamin E atau selenium), dan manajemen kelahiran yang kurang baik. Dampaknya meliputi risiko infeksi uterus (metritis), gangguan reproduksi, dan penurunan produksi susu. Jika tidak ditangani, retensi plasenta dapat mengancam kesejahteraan sapi dan meningkatkan biaya perawatan.
Pencegahan dan Penanganan:
Pencegahan retensi plasenta dilakukan melalui pemberian nutrisi yang cukup, manajemen kelahiran yang higienis, dan pemantauan sapi selama masa peripartum. Penanganan melibatkan pengobatan antibiotik untuk mencegah infeksi, serta, bila perlu, pengangkatan plasenta secara manual oleh tenaga ahli.
Relevansi dengan SDGs:
Dengan memahami dan mengelola retensi plasenta secara tepat, peternak dapat meningkatkan efisiensi produksi sekaligus mendukung pencapaian SDGs untuk keberlanjutan sektor peternakan.