Kadar glukosa dan total protein plasma sapi perah di bawah normal menjadi penyebab sapi perah mengalami kawin berulang. Kawin berulang pada sapi perah merupakan gangguan reproduksi yang ditandai oleh panjangnya calving interval. Dhasia Ramandani seorang peneliti Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta telah melakukan penelitian tentang kadar glukosa dan total protein plasma sebagai salah satu penyebab sapi perah mengalami kawin berulang. Dari sepuluh ekor sapi perah peranakan Friesian Holstein yang mengalami kawin berulang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Sapi perah tersebut berumur 3-8 tahun, sudah pernah beranak minimal satu kali, mempunyai siklus reproduksi normal, dan kondisi tubuh sehat. Sebanyak 10 ml sampel darah dikoleksi melalui vena jugularis kemudian dilakukan analisis darah di LPPT UGM. Analisis kadar glukosa dan total protein plasma diperiksa menggunakan Photometer Microlab 300 dengan metode spektrofotometer. Sapi perah yang mengalami kawin berulang memiliki konsentrasi kadar glukosa dan total protein plasma di bawah normal. Rata-rata konsentrasi glukosa darah adalah 48.58±6.675 mg/dl, dan total protein plasma adalah 6.815±821 g/dl.
Perkembangan populasi sapi perah di Daerah Istimewa Yogyakarta belum menunjukkan hasil yang optimal akibat masih rendahnya produktivitas dan efisiensi reproduksi. Hasil penelitian Wahyuningsih (1987) menunjukkan, bahwa sapi perah yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata memiliki jarak beranak 18,26 bulan dengan interval kebuntingan setelah partus (days open) 7-8 bulan. Padahal menurut Lewis (1997), jarak beranak sapi yang normal idealnya ± 12 bulan. Rendahnya angka konsepsi dan panjangnya jarak kelahiran mengindikasikan adanya gangguan reproduksi, salah satunya yang paling sering terjadi adalah kawin berulang (Arthur dkk., 2001). Sapi yang dikategorikan mengalami kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina dengan siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981; Arthur dkk., 2001). Kejadian kawin berulang pada sapi disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor nutrisi, infeksi, hormonal dan manajemen pemeliharaan. Defisiensi nutrisi telah dilaporkan sebagai faktor utama penyebab gangguan reproduksi pada sapi perah di daerah-daerah tropis (Boland and Lonergan, 2003; Cheeke, 2005). Defisiensi atau ketidakseimbangan konsumsi nutrisi dapat berpengaruh buruk terhadap berbagai tahap proses reproduksi (Anggordi, 1994; Cheeke, 2005). Menurut Cheeke (2005), pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan kemajiran seringkali bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain. Mekanisme terjadinya kawin berulang karena faktor nutrisi berhubungan dengan skor kondisi tubuh yang kurang optimal untuk bereproduksi, abnormalitas fungsi ovarium maupun hormon reproduksi, kemudian berdampak pada kegagalan kebuntingan dan kawin berulang (Boland and Lonergan, 2003; Anggordi, 1994). Kekurangan glukosa sebagai sumber energi utama pada sapi dapat menghambat sintesis atau pelepasan gonadotropin releasing hormon (GnRH) karena tidak tercukupinya jumlah adenosin triphophat (ATP) (Boland and Lonergan, 2003). Lebih lanjut Prihatno (2007) menyebutkan, bahwa defisiensi glukosa juga dapat menghambat sintesis folicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH) yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan folikel, ovum, estrogen, dan progesteron. Kadar protein darah juga berpengaruh terhadap terjadinya kawin berulang (Boland and Lonergan, 2003). Berbagai laporan menunjukkan, bahwa pada ternak betina, kekurangan protein menyebabkan timbulnya birahi yang lemah, birahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat breeder), kematian embrio dini, absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau kelahiran prematur (Boland and Lonergan, 2003; Anggordi, 1994). Pada hewan betina yang masih muda, kekurangan protein dapat menghambat timbulnya birahi. Pada induk yang sedang bunting, kekurangan salah satu asam amino esensial juga dapat diikuti pertumbuhan fetus yang abnormal (Hardjopranjoto, 1995). Demikian juga pada induk yang baru melahirkan, kekurangan protein dalam ransum dapat menimbulkan anestrus postpartum yang diperpanjang (Cheeke, 2005). Publikasi mengenai kawin berulang yang disebabkan oleh faktor nutrisi khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta belum banyak dilaporkan. Kondisi glukosa dan protein darah pada sapi yang mengalami kawin berulang dijadikan data landasan dalam penentuan tindakan yang tepat untuk menanggulangi kejadian kawin berulang sehingga produktivitas ternak bisa ditingkatkan. https://jurnal.ugm.ac.id/jsv/article/view/8101
https://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/09/DSCN7393-4.jpg10801440weesnugrohohttp://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.pngweesnugroho2017-09-20 05:14:132017-09-20 19:09:32Glukosa Penyebab Gangguan Reproduksi pada Sapi di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
Ekstrak Daun Sage (Salvia officinalis.L) sebagai anti-Streptococcus suis penyebab zoonotik meningitis pada hewan maupun manusia. Meningitis merupakan masalah medis yang serius serta membutuhkan pengenalan dan penanganan segera untuk mencegah kematian. Sampai saat ini meningitis masih merupakan infeksi yang menakutkan, menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi terutama di negara berkembang (Rizka, 2012). Meskipun telah banyak kemajuan dalam penemuan antibiotika dan terapi pendukung, mortalitas akibat meningitis masih tetap tinggi. Tingkat keparahan meningitis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya virulensi dan jenis agen penyebab, status imunitas pasien, resistensi pada antibiotik dan penatalaksanaannya. Salah satu agen utama penyebab meningitis adalah Streptococcus suis (S.suis). Infeksi S. suis khususnya serotipe 2, bersifat zoonosis dengan 88% infeksi ditandai dengan gejala klinis berupa meningitis, gangguan pendengaran dan gangguan pernafasan (Kay et al., 1995). Penisilin dan cefotaxime adalah dua antibiotik yang paling sering digunakan untuk mengobati meningitis. Namun beberapa bakteri penyebab meningitis khususnya Streptococcus suis menjadi semakin resisten terhadap penisilin, sehingga dokter sering menggabungkan berbagai jenis antibiotik untuk mencoba membunuh bakteri. Munculnya kuman-kuman patogen yang kebal terhadap satu (antimicrobial resistance) atau beberapa jenis antibiotika tertentu (multi-drug resistance) sangat menyulitkan proses pengobatan (APUA, 2011). Pengobatan dan pemberdayaan obat tradisional merupakan salah satu komponen program pelayanaan kesehatan dasar yang digunakan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan penduduk (Hembing, 1996). Upaya pencarian bahan baku obat dari bahan alam sampai saat ini masih terus dilakukan. Sage (Salvia officinalis.L) merupakan tanaman herbal yang belum banyak dikenal dan dimanfaatkan di Indonesia untuk alternatif pengobatan. Di Eropa dan Cina, ekstrak dan minyak esensial tanaman sage telah banyak digunakan untuk berbagai aplikasi seperti makanan, kosmetik maupun keperluan industri farmasi (Stammati et al., 1999). Secara tradisional sage telah banyak digunakan untuk pengobatan seperti penanganan pada kasus keradangan pada mulut dan tenggorokan (Baričević et al., 2001). Selain itu, sage juga telah dilaporkan memiliki kemapuan antimutagenik dan untuk penanganan cancer (Craig, 1999; Simić et al., 2000; Knežević-Vukčević et al., 2001). Sage dilaporkan memiliki efek antibakterial, fungisidal, virustatik dan astrigensia. Asam phenolic seperti salvin dan salvin monometyl ether yang diisolasi dari Sage diduga memiliki aktivitas antimikrobial khususnya dalam melawan infeksi Staphylococcus aureus (Dragana et al., 2005). Demikian hasil penelitian yang dilakukan Mitra Slipranata dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
http://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.png00weesnugrohohttp://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.pngweesnugroho2017-09-20 05:12:222017-09-20 18:55:39Daun Sage Penangkal Penyakit Meningitis pada Hewan dan Manusia
Peneliti dari Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Widagdo Sri Nugroho mengingatkan masyarakat agar mewaspadai konsumsi jamu darah ular kobra.
“Hasil penelitian kami mencatat, dalam darah ular kobra yang sudah dijadikan jamu ditemukan bakteri Staphylococcus aureus yang dapat menyebabkan keracunan pangan bila melebihi kadar yang ditoleransi oleh tubuh,” ujar dia dalam diskusi di FKH UGM, Yogyakarta, Kamis (27/07/2017). Read more
http://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.png00weesnugrohohttp://kanalpengetahuan.fkh.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/184/2017/07/logo-web-kpmi-fkh.pngweesnugroho2017-09-20 05:00:192017-09-20 05:06:29Anda Penyuka Jamu Darah Ular???……Waspadalah!!!
[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website.
--
[ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju
Glukosa Penyebab Gangguan Reproduksi pada Sapi di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
/in Publikasi/by weesnugrohoKadar glukosa dan total protein plasma sapi perah di bawah normal menjadi penyebab sapi perah mengalami kawin berulang. Kawin berulang pada sapi perah merupakan gangguan reproduksi yang ditandai oleh panjangnya calving interval. Dhasia Ramandani seorang peneliti Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta telah melakukan penelitian tentang kadar glukosa dan total protein plasma sebagai salah satu penyebab sapi perah mengalami kawin berulang. Dari sepuluh ekor sapi perah peranakan Friesian Holstein yang mengalami kawin berulang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Sapi perah tersebut berumur 3-8 tahun, sudah pernah beranak minimal satu kali, mempunyai siklus reproduksi normal, dan kondisi tubuh sehat. Sebanyak 10 ml sampel darah dikoleksi melalui vena jugularis kemudian dilakukan analisis darah di LPPT UGM. Analisis kadar glukosa dan total protein plasma diperiksa menggunakan Photometer Microlab 300 dengan metode spektrofotometer. Sapi perah yang mengalami kawin berulang memiliki konsentrasi kadar glukosa dan total protein plasma di bawah normal. Rata-rata konsentrasi glukosa darah adalah 48.58±6.675 mg/dl, dan total protein plasma adalah 6.815±821 g/dl.
Perkembangan populasi sapi perah di Daerah Istimewa Yogyakarta belum menunjukkan hasil yang optimal akibat masih rendahnya produktivitas dan efisiensi reproduksi. Hasil penelitian Wahyuningsih (1987) menunjukkan, bahwa sapi perah yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata memiliki jarak beranak 18,26 bulan dengan interval kebuntingan setelah partus (days open) 7-8 bulan. Padahal menurut Lewis (1997), jarak beranak sapi yang normal idealnya ± 12 bulan. Rendahnya angka konsepsi dan panjangnya jarak kelahiran mengindikasikan adanya gangguan reproduksi, salah satunya yang paling sering terjadi adalah kawin berulang (Arthur dkk., 2001). Sapi yang dikategorikan mengalami kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina dengan siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan 2 kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981; Arthur dkk., 2001). Kejadian kawin berulang pada sapi disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor nutrisi, infeksi, hormonal dan manajemen pemeliharaan. Defisiensi nutrisi telah dilaporkan sebagai faktor utama penyebab gangguan reproduksi pada sapi perah di daerah-daerah tropis (Boland and Lonergan, 2003; Cheeke, 2005). Defisiensi atau ketidakseimbangan konsumsi nutrisi dapat berpengaruh buruk terhadap berbagai tahap proses reproduksi (Anggordi, 1994; Cheeke, 2005). Menurut Cheeke (2005), pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan kemajiran seringkali bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain. Mekanisme terjadinya kawin berulang karena faktor nutrisi berhubungan dengan skor kondisi tubuh yang kurang optimal untuk bereproduksi, abnormalitas fungsi ovarium maupun hormon reproduksi, kemudian berdampak pada kegagalan kebuntingan dan kawin berulang (Boland and Lonergan, 2003; Anggordi, 1994). Kekurangan glukosa sebagai sumber energi utama pada sapi dapat menghambat sintesis atau pelepasan gonadotropin releasing hormon (GnRH) karena tidak tercukupinya jumlah adenosin triphophat (ATP) (Boland and Lonergan, 2003). Lebih lanjut Prihatno (2007) menyebutkan, bahwa defisiensi glukosa juga dapat menghambat sintesis folicle stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormon (LH) yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan folikel, ovum, estrogen, dan progesteron. Kadar protein darah juga berpengaruh terhadap terjadinya kawin berulang (Boland and Lonergan, 2003). Berbagai laporan menunjukkan, bahwa pada ternak betina, kekurangan protein menyebabkan timbulnya birahi yang lemah, birahi tenang, anestrus, kawin berulang (repeat breeder), kematian embrio dini, absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau kelahiran prematur (Boland and Lonergan, 2003; Anggordi, 1994). Pada hewan betina yang masih muda, kekurangan protein dapat menghambat timbulnya birahi. Pada induk yang sedang bunting, kekurangan salah satu asam amino esensial juga dapat diikuti pertumbuhan fetus yang abnormal (Hardjopranjoto, 1995). Demikian juga pada induk yang baru melahirkan, kekurangan protein dalam ransum dapat menimbulkan anestrus postpartum yang diperpanjang (Cheeke, 2005). Publikasi mengenai kawin berulang yang disebabkan oleh faktor nutrisi khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta belum banyak dilaporkan. Kondisi glukosa dan protein darah pada sapi yang mengalami kawin berulang dijadikan data landasan dalam penentuan tindakan yang tepat untuk menanggulangi kejadian kawin berulang sehingga produktivitas ternak bisa ditingkatkan. https://jurnal.ugm.ac.id/jsv/article/view/8101
Daun Sage Penangkal Penyakit Meningitis pada Hewan dan Manusia
/in Publikasi/by weesnugrohoEkstrak Daun Sage (Salvia officinalis.L) sebagai anti-Streptococcus suis penyebab zoonotik meningitis pada hewan maupun manusia. Meningitis merupakan masalah medis yang serius serta membutuhkan pengenalan dan penanganan segera untuk mencegah kematian. Sampai saat ini meningitis masih merupakan infeksi yang menakutkan, menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi terutama di negara berkembang (Rizka, 2012). Meskipun telah banyak kemajuan dalam penemuan antibiotika dan terapi pendukung, mortalitas akibat meningitis masih tetap tinggi. Tingkat keparahan meningitis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya virulensi dan jenis agen penyebab, status imunitas pasien, resistensi pada antibiotik dan penatalaksanaannya. Salah satu agen utama penyebab meningitis adalah Streptococcus suis (S.suis). Infeksi S. suis khususnya serotipe 2, bersifat zoonosis dengan 88% infeksi ditandai dengan gejala klinis berupa meningitis, gangguan pendengaran dan gangguan pernafasan (Kay et al., 1995). Penisilin dan cefotaxime adalah dua antibiotik yang paling sering digunakan untuk mengobati meningitis. Namun beberapa bakteri penyebab meningitis khususnya Streptococcus suis menjadi semakin resisten terhadap penisilin, sehingga dokter sering menggabungkan berbagai jenis antibiotik untuk mencoba membunuh bakteri. Munculnya kuman-kuman patogen yang kebal terhadap satu (antimicrobial resistance) atau beberapa jenis antibiotika tertentu (multi-drug resistance) sangat menyulitkan proses pengobatan (APUA, 2011). Pengobatan dan pemberdayaan obat tradisional merupakan salah satu komponen program pelayanaan kesehatan dasar yang digunakan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan penduduk (Hembing, 1996). Upaya pencarian bahan baku obat dari bahan alam sampai saat ini masih terus dilakukan. Sage (Salvia officinalis.L) merupakan tanaman herbal yang belum banyak dikenal dan dimanfaatkan di Indonesia untuk alternatif pengobatan. Di Eropa dan Cina, ekstrak dan minyak esensial tanaman sage telah banyak digunakan untuk berbagai aplikasi seperti makanan, kosmetik maupun keperluan industri farmasi (Stammati et al., 1999). Secara tradisional sage telah banyak digunakan untuk pengobatan seperti penanganan pada kasus keradangan pada mulut dan tenggorokan (Baričević et al., 2001). Selain itu, sage juga telah dilaporkan memiliki kemapuan antimutagenik dan untuk penanganan cancer (Craig, 1999; Simić et al., 2000; Knežević-Vukčević et al., 2001). Sage dilaporkan memiliki efek antibakterial, fungisidal, virustatik dan astrigensia. Asam phenolic seperti salvin dan salvin monometyl ether yang diisolasi dari Sage diduga memiliki aktivitas antimikrobial khususnya dalam melawan infeksi Staphylococcus aureus (Dragana et al., 2005). Demikian hasil penelitian yang dilakukan Mitra Slipranata dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
https://jurnal.ugm.ac.id/jsv/article/view/27558
Anda Penyuka Jamu Darah Ular???……Waspadalah!!!
/in Knowledge Translation/by weesnugrohoPeneliti dari Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Widagdo Sri Nugroho mengingatkan masyarakat agar mewaspadai konsumsi jamu darah ular kobra.
“Hasil penelitian kami mencatat, dalam darah ular kobra yang sudah dijadikan jamu ditemukan bakteri Staphylococcus aureus yang dapat menyebabkan keracunan pangan bila melebihi kadar yang ditoleransi oleh tubuh,” ujar dia dalam diskusi di FKH UGM, Yogyakarta, Kamis (27/07/2017). Read more